Rabu, 21 Oktober 2015

HELLENISME DAN CIRI-CIRINYA



HELLENISME DAN CIRI-CIRINYA
Resume Ini Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah
“ Filsafat Umum”
Dosen Pengampu: Alfiatu Solikah, M. Pd. I
Semester I, Kelompok 3, Kelas K :
Bagus Jaenal Arifin                ( 932139215 )
Amimin Miftaqul Janah          ( 932139315 )
Gemely Chanifatun Fitriana   ( 932139415 )


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN AKADEMIK 2015/2016






HELLENISME DAN CIRI-CIRINYA



A.    Pengertian Hellenisme
Istilah hellenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizen, yang berarti berbicara atau berkelakuan seperti orang yunani (to speak or make greek). Yang dimaksud dengan hellenisme klasik yang ada di Yunani itu ialah kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Dalam pengertian yang lebih luas, hellenisme adalah istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Mesopotamia dan Mesir yang lebih tua.
Gabungan ini terjadi selama tiga abad setelah meninggalnya Alexander yang Agung pada tahun 323 SM. Seseorang dikatakan hellene bila ia berbicara dan menggunakan budaya Yunani, dimanapun berada. Istilah “periode helenistik” mulai digunakan pada abad ke-19 oleh sejarahwan Jerman, Droysen, untuk menunjukan periode sebagaimana disebut di atas itu.

B.     Sejarah Perkembangan Hellenisme
Pasca Aristoteles, Filsafat Yunani mengalami penurunan yang signifikan. Pengkajian tentang filsafat tidak lagi semarak sebagaimana terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan munculnya ilmu-ilmu spesial yang berkembang dan berdiri sendiri. Seperti ilmu alam, gramatika, sejarah kesusastraan dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini menyebabkan ilmu filsafat tidak lagi menjadi prioritas utama. Peralihan filsafat Yunani menjadi filsafat Hellen-Romawi disebabkan terutama oleh seorang yang bernama Alexandros, murid Aristoteles. Tindakannya yang imperialis menyatukan seluruh dunia Grik ke dalam satu kerajaan Macedonia. Sesudah itu ia menakhlukkan bangsa-bangsa di Asia. Semuanya itu dijadikan beberapa propinsi kerajaan Macedonia.[1]
Menurut Bertrand Russell, pengaruh agama dan non Yunani terhadap dunia Hellenistis pada dasarnya buruk, meski tak sepenuhnya demikian. Hal ini semestinya tak perlu terjadi. Kaum Yahudi, Persia, dan Buddhis semuanya memiliki agama yang jauh lebih unggul daripada politeisme rakyat Yunani, dan bahkan bisa dipelajari oleh para filsof terbaik dengan hasil yang bermanfaat.[2]
Maka dari itu, masa Hellen-Romawi adalah suatu fase filsafat yang tidak hanya didominasi oleh filsafat asli Yunani. Akan tetapi filsafat pada fase ini bisa dikatakan sebagai filsafat Trans Nasional.
Menurut Hatta, masa filsafat Yunani pada masa ini dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu masa etik dan masa religi.
1.    Periode Etik
Periode ini terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri, yaitu Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua diambil dari kata ”stoa” yang berarti ruang. Sedangkan nama skeptis diberikan karena mereka kritis terhadap para filsof klasik sebelumnya.
a)      Epikuros (341 SM)
Epikuros dilahirkan di Samos pada tahun 341 SM. Pada tahun 306 ia mulai belajar di Athena, dan di sinilah ia meninggal pada tahun 270. Filsafat Epikuros diarahkan pada satu tujuan belaka, yaitu memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia.[3]
Epikuros hanya mempergunakan pengetahuan yang diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu yang sudah ia kenal, sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama.
Epikuros adalah seorang filsof yang menginginkan arah filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Hal ini semata-mata ia lakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tanpa ada yang membatasi.

b)      Stoa (340 SM)
Pendirinya adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat.
Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana, hidup sesuai dengan alam.[4]
c)      Skeptis

Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka ragu-ragu untuk menerima ajaran-ajaran yang dari ahli-ahli filsafat sebelumnya.[5] Perlu diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat bukanlah sekedar keragu-raguan, melainkan sesuatu yang bisa disebut keraguan dogmatis.
2.    Periode Religi
Pada masa etik, agama itu dianggap sebagai suatu belenggu yang menanam rasa takut dalam hati manusia. Karena itu agama dipandang sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan hidup. Dan tujuan filsafat menurut Epikuros dan Stoa harus merintis jalan ke arah mencapai kesenangan hidup.
Didorong oleh perasaan dan keadaan bangsa Yunani dan bangsa lainnya yang senantiasa merasa tertekan di bawah kekuasaan kerajaan Roma, maka ajaran Etik tidak dapat memberikan jalan keluar. Kemudian perasaan agamalah yang akhirnya muncul sesudah beberapa abad terpendam dapat mengobati jiwa yang terluka. Mulai dari sinilah pandangan filsafat berbelok arah, dari otak turun ke hati.

Keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan hidup kembali. Pada periode ini, ada tiga aliran yang berperan, yaitu aliran Neo-Pythagoras, aliran Philon Alexandria dan Neo-Platonisme.
a)      Aliran Neo-Pythagoras                                                 
Dinamakan Neo-Pythagoras karena ia berpangkal pada ajaran Pythagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Bedanya Tuhan dan manusia digambarkan dalam mistik Neo-Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya dengan yang bernoda. Yang sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah manusia.[6]
b)      Philon Alexandria
Alexandria terletak di Mesir. Di sana tempat bertemu antara filsafat Yunani yang bersifat intelektualis dan rasionalis, dan pandangan agama kaum Yahudi yang banyak mengandung mistik.
Pencetusnya adalah Philon. Ia hidup dari 25 SM sampai 45 M. Ia adalah seorang pendeta Yahudi, karenanya filsafat yang dipelajarinya terpengaruh oleh pandangan agama. Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya ialah hubungan manusia dengan Tuhan.
c)      Neo-Platonisme
Dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filsof besar fase terakhir Yunani. Neo-Platonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase hellenisme romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama. [7] Seluruh sistem filsafat Plotinos Berkisar pada konsep kesatuan. Atau dapat juga kita katakan bahwa seluruh sistem filsafat Plotinos berkisar pada Allah sebab Allah disebutnya dengan nama ”yang satu”.[8]

C.     Ciri-ciri Hellenisme
1.    Sifat spekulasi mulai dijauhi, perhatian lebih terkonsentrasi pada masalah aplikasi. Perhatian yang lebih besar adalah pada penemuan mekanika.
2.    Athena kehilangan monopoli dalam pengajaran dan kita menemukan pusat-pusat pengetahuan yang baru seperti Antakya (Antioch), Rhodes, Perganum, dan Alexandria.
3.    Filsafat dipopulerkan sehingga memikat peminat yang lebih luas. Ada kekurang pedulian terhadap metafisika, diganti dengan perhatian yang lebih besar pada masalah-masalah sosial.
4.    Etika dijadikan perhatian yang dominan. Sekarang yang dipersoalkan ialah bagaimana manusia dapat mencapai kehiduan yang tebaik, filsof kurang tertarik pada kosmologi dibandingkan dengan penyelamatan moral.
5.    Jiwa filsafat Hellenisme ialah elektrik, usaha-usaha diarahkan untuk mensintesis dan mengharmoniskan pendapat yang berlawanan. Usaha ini sering memperlihatkan kekurang aslian pemikiran.
6.    Muncul filsof yang justru lebih senang pada riset, tetapi tidak memiliki teori sendiri. Mereka lebih mementingkan sifat akademis. Jika menjadi pengulas, hanya sedikit keberanian memberikan interpretasi.
7.    Pada zaman ini filsafat lebih lengket dengan agama dibandingkan dengan pada zaman helenis lama (Yunani). Beberapa filsof memberikan penjelasan simbolis dan alegoris tentang agama. Perspektif filsafat dan sastra semakin pendek. Kurang stabilnya mental, sebagaimana kondisi fisik, diikuti oleh kurang stabilnya mental sebagaimana juga terlihat pada abad ke-20.[9]



[1] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta : Tintamas, 1986, cet.3, hal. 140.
[2] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, cet. 2, hal.308.
[3] Bernard Delfgauuw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, penerjemah : Soejono Soemargono, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992, cet. 1, hal. 37.
[4]Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. 1, hal. 42.
[5]Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta : Tintamas, 1986, cet. 3, hal. 156.


[6] Ibid, hal. 162
[7] Sholikhin, KH. Muhammad (2008). Filsafat dan Metafisika dalam Islam. Jogjakarta : Penerbit Narasi. PP. 161-168. ISBN. 979-168-100-7.
[8]http://pendidikansejarah2005.blogspot.com/2009/03/perkembangan-helenisme-dan-romawi.html
[9] Ahmad Tafsir, op. Cit, hal. 63.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar