HELLENISME DAN CIRI-CIRINYA
Resume
Ini Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah
“
Filsafat Umum”
Dosen
Pengampu: Alfiatu Solikah, M. Pd. I
Semester
I, Kelompok 3, Kelas K :
Bagus Jaenal Arifin ( 932139215 )
Amimin Miftaqul Janah ( 932139315 )
Gemely Chanifatun Fitriana ( 932139415 )
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN
AKADEMIK 2015/2016
HELLENISME DAN
CIRI-CIRINYA
A. Pengertian
Hellenisme
Istilah hellenisme adalah istilah modern
yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizen, yang berarti berbicara atau
berkelakuan seperti orang yunani (to speak or make greek). Yang dimaksud dengan
hellenisme klasik yang ada di Yunani itu ialah kebudayaan Yunani yang
berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Dalam pengertian yang lebih luas, hellenisme
adalah istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya
Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Mesopotamia dan Mesir yang lebih tua.
Gabungan ini terjadi selama tiga abad
setelah meninggalnya Alexander yang Agung pada tahun 323 SM. Seseorang
dikatakan hellene bila ia berbicara dan menggunakan budaya Yunani, dimanapun
berada. Istilah “periode helenistik” mulai digunakan pada abad ke-19 oleh
sejarahwan Jerman, Droysen, untuk menunjukan periode sebagaimana disebut di
atas itu.
B. Sejarah
Perkembangan Hellenisme
Pasca Aristoteles, Filsafat Yunani
mengalami penurunan yang signifikan. Pengkajian tentang filsafat tidak lagi
semarak sebagaimana terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan
munculnya ilmu-ilmu spesial yang berkembang dan berdiri sendiri. Seperti ilmu
alam, gramatika, sejarah kesusastraan dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini
menyebabkan ilmu filsafat tidak lagi menjadi prioritas utama. Peralihan filsafat
Yunani menjadi filsafat Hellen-Romawi disebabkan terutama oleh seorang yang
bernama Alexandros, murid Aristoteles. Tindakannya yang imperialis menyatukan
seluruh dunia Grik ke dalam satu kerajaan Macedonia. Sesudah itu ia menakhlukkan
bangsa-bangsa di Asia. Semuanya itu dijadikan beberapa propinsi kerajaan
Macedonia.[1]
Menurut Bertrand Russell, pengaruh
agama dan non Yunani terhadap dunia Hellenistis pada dasarnya buruk, meski tak
sepenuhnya demikian. Hal ini semestinya tak perlu terjadi. Kaum Yahudi, Persia,
dan Buddhis semuanya memiliki agama yang jauh lebih unggul daripada politeisme
rakyat Yunani, dan bahkan bisa dipelajari oleh para filsof terbaik dengan hasil
yang bermanfaat.[2]
Maka dari itu, masa Hellen-Romawi
adalah suatu fase filsafat yang tidak hanya didominasi oleh filsafat asli
Yunani. Akan tetapi filsafat pada fase ini bisa dikatakan sebagai filsafat
Trans Nasional.
Menurut Hatta, masa filsafat Yunani
pada masa ini dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu masa etik dan masa
religi.
1. Periode Etik
Periode
ini terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama
sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri, yaitu
Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua diambil dari kata ”stoa” yang berarti
ruang. Sedangkan nama skeptis diberikan karena mereka kritis terhadap para filsof
klasik sebelumnya.
a)
Epikuros (341 SM)
Epikuros dilahirkan di Samos pada
tahun 341 SM. Pada tahun 306 ia mulai belajar di Athena, dan di sinilah ia
meninggal pada tahun 270. Filsafat Epikuros diarahkan pada satu tujuan belaka,
yaitu memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia.[3]
Epikuros hanya mempergunakan pengetahuan yang diperolehnya
dan hasil penyelidikan ilmu yang sudah ia kenal, sebagai alat untuk membebaskan
manusia dari ketakutan agama.
Epikuros adalah seorang filsof yang
menginginkan arah filsafatnya untuk mencapai kesenangan hidup. Hal ini
semata-mata ia lakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tanpa ada yang
membatasi.
b)
Stoa (340 SM)
Pendirinya
adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM. Awalnya ia
hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah di
tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah
mengapa ia berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat.
Tujuan
utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Dalam literatur
lain disebutkan bahwa pokok ajaran etik Stoa adalah bagaimana manusia hidup
selaras dengan keselarasan dunia. Sehingga menurut mereka kebajikan ialah akal
budi yang lurus, yaitu akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Pada
akhirnya akan mencapai citra idaman seorang bijaksana, hidup sesuai dengan
alam.[4]
c)
Skeptis
Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka ragu-ragu untuk menerima ajaran-ajaran yang
dari ahli-ahli filsafat sebelumnya.[5]
Perlu diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat bukanlah sekedar
keragu-raguan, melainkan sesuatu yang bisa disebut keraguan dogmatis.
2. Periode
Religi
Pada masa etik, agama itu dianggap sebagai suatu
belenggu yang menanam rasa takut dalam hati manusia. Karena itu agama dipandang
sebagai suatu penghalang untuk memperoleh kesenangan hidup. Dan tujuan filsafat
menurut Epikuros dan Stoa harus merintis jalan ke arah mencapai kesenangan
hidup.
Didorong oleh perasaan dan keadaan bangsa Yunani dan
bangsa lainnya yang senantiasa merasa tertekan di bawah kekuasaan kerajaan
Roma, maka ajaran Etik tidak dapat memberikan jalan keluar. Kemudian perasaan
agamalah yang akhirnya muncul sesudah beberapa abad terpendam dapat mengobati
jiwa yang terluka. Mulai dari sinilah pandangan filsafat berbelok arah, dari
otak turun ke hati.
Keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan hidup kembali. Pada periode ini, ada tiga
aliran yang berperan, yaitu aliran Neo-Pythagoras, aliran Philon Alexandria dan
Neo-Platonisme.
a)
Aliran Neo-Pythagoras
Dinamakan
Neo-Pythagoras karena ia berpangkal pada ajaran Pythagoras yang mendidik
kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Bedanya Tuhan dan manusia digambarkan
dalam mistik Neo-Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya
dengan yang bernoda. Yang sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah
manusia.[6]
b)
Philon
Alexandria
Alexandria
terletak di Mesir. Di sana tempat bertemu antara filsafat Yunani yang bersifat
intelektualis dan rasionalis, dan pandangan agama kaum Yahudi yang banyak
mengandung mistik.
Pencetusnya
adalah Philon. Ia hidup dari 25 SM sampai 45 M. Ia adalah seorang pendeta
Yahudi, karenanya filsafat yang dipelajarinya terpengaruh oleh pandangan agama.
Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya ialah hubungan manusia dengan Tuhan.
c)
Neo-Platonisme
Dibangun
oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filsof besar fase terakhir Yunani. Neo-Platonisme
merupakan rangkaian terakhir dari fase hellenisme romawi, yaitu suatu fase
pengulangan ajaran Yunani yang lama. [7] Seluruh
sistem filsafat Plotinos Berkisar pada konsep kesatuan. Atau dapat juga kita
katakan bahwa seluruh sistem filsafat Plotinos berkisar pada Allah sebab Allah
disebutnya dengan nama ”yang satu”.[8]
C. Ciri-ciri
Hellenisme
1. Sifat spekulasi mulai dijauhi, perhatian
lebih terkonsentrasi pada masalah aplikasi. Perhatian yang lebih besar adalah
pada penemuan mekanika.
2. Athena kehilangan monopoli dalam pengajaran
dan kita menemukan pusat-pusat pengetahuan yang baru seperti Antakya (Antioch),
Rhodes, Perganum, dan Alexandria.
3. Filsafat dipopulerkan sehingga memikat
peminat yang lebih luas. Ada kekurang pedulian terhadap metafisika, diganti
dengan perhatian yang lebih besar pada masalah-masalah sosial.
4. Etika dijadikan perhatian yang dominan.
Sekarang yang dipersoalkan ialah bagaimana manusia dapat mencapai kehiduan yang
tebaik, filsof kurang tertarik pada kosmologi dibandingkan dengan penyelamatan
moral.
5. Jiwa filsafat Hellenisme ialah elektrik,
usaha-usaha diarahkan untuk mensintesis dan mengharmoniskan pendapat yang
berlawanan. Usaha ini sering memperlihatkan kekurang aslian pemikiran.
6. Muncul filsof yang justru lebih senang pada
riset, tetapi tidak memiliki teori sendiri. Mereka lebih mementingkan sifat
akademis. Jika menjadi pengulas, hanya sedikit keberanian memberikan
interpretasi.
7. Pada zaman ini filsafat lebih lengket dengan
agama dibandingkan dengan pada zaman helenis lama (Yunani). Beberapa filsof
memberikan penjelasan simbolis dan alegoris tentang agama. Perspektif filsafat
dan sastra semakin pendek. Kurang stabilnya mental, sebagaimana kondisi fisik,
diikuti oleh kurang stabilnya mental sebagaimana juga terlihat pada abad ke-20.[9]
[1] Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta : Tintamas, 1986, cet.3, hal. 140.
[2] Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik
dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, cet. 2,
hal.308.
[3] Bernard
Delfgauuw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, penerjemah : Soejono Soemargono,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992, cet. 1, hal. 37.
[4]Bernard
Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono Soemargono,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. 1, hal. 42.
[5]Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta : Tintamas, 1986, cet. 3, hal. 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar